Agustus 11, 2008, 3:26 am
Filed under: Sejarah
Filed under: Sejarah
I
Perubahan
merupakan suatu keharusan dalam hidup manusia, begitu kata orang bijak.
Dalam kajian ilmu sosial dan humaniora kata pengiring dari perubahan
begitu beragam. Katakan saja, perubahan sosial, perubahan politik,
perubahan tingkah laku, dan perubahan budaya, terkadang tertulis juga
kata transformasi seperti transformasi sosial, transformasi politik dan
transformasi budaya. Mungkin kita menduga, bahwa ada kesamaan arti dari
kata perubahan dan kata transformai. Bisa jadi kata perubahan dan transformasi masing mempunyai difinisi sendiri. Saya teringat Almarhum Umar Kayam dalam orasi ilmiahnya, ia berpendapat, bahwa transformasi diandaikannya sebagai suatu proses pengalihan total dari suatu bentuk sosok baru yang akan mapan. Transformasi ini dapat dibayangkan melalui
suatu proses bertahap dan panjang tetapi dapat pula sebagai suatu titik
balik yang sangat cepat, begitulah kata Umar Kayam.[1] Kayam juga memberikan contoh tentang model transformasi
dialektika Hegel dan Marx. Hematnya proses dialektika Hegel adalah
dialektika spritual yang diilhami oleh spirit untuk mencapai titik
transformasi akhir dari _Sang Spirit yang absolut, sedangkan Marx sang
murid Hegel membayangkan, bahwa transformasi untuk mencapai masyarakat
tanpa kelas yang ajeg harus melalui suatu pertentang-an
kelas yang berebut penguasaan alat produksi. Selain Hegel dan Marx,
Kayam juga mengusung type idealnya dari Marx Weber. Bagi Weber untuk
memahami transformasi masyarakat kapitalis, kita tidak perlu
memahaminya sebagai suatu sintesa, tesa, atau antitesa, melainkan
memahaminya melalui type ideal yang sengaja diciptakan sebagai suatu
model dan paradigma. [2]
Pandangan
di atas tentang transformasi yang dikutip dari Umar Kayam semakin
difahami, ketika saya membaca sebuah tulisan tentang perubahan
kebudayaan dari almarhum Kuntowijoyo. Hematnya perubahan kebudayaan yang
secara alami disebut transformasi, sedangkan perubahan yang dibuat
(artifisial) disebut rekayasa.[3] Merujuk pandangan dari Kuntowijoyo tentang perubahan
kebudayaan maka dalam tulisan ini akan memuat transformasi dan rekayasa
budaya yang terjadi di Banua kita dalam kacamata sejarah.
Transformasi Jawa
Membaca
Hikayat Banjar (HB), memberikan informasi tentang siapa yang menjadi
agen perubahan di Banua kita. Kedatangan rombongan Empu Jatmika
mengisyaratkan, muasal terjadinya dialog budaya lokal dan Jawa.
Rombongan Emput Jatmika dengan membawa budayanya membenarkan, bahwa
kebudayaan dapat dipengaruhi faktor proksimitas ( kedekatan geografis).[4]
Dalam konteks tulisan ini, bahwa Empu Jatmika yang merupakan salah
seorang dari nenek moyang kita begitu cerdik dalam menentukan pilihan
dalam memanfaatkan geografis untuk perjalanan sebaran
budayanya. Tidak diketahui dengan bahasa apa mereka berkomunikasi dengan
penduduk lokal, faktanya terjadi keluwesan dalam berkomunikasi. Begitu
juga masyarakat lokal dengan kelenturan bersikapnya mampu membangun
komunikasi budaya dengan cerdik.
Proses
dialog budaya antara Jawa dan lokal dibangun melalui simbol
terbentuknya Negara Dipa, perkawinan putri Junjung Bui dengan Pangeran
Suryanata, candi agung, pakaian, regalia-regalia, dan gelar-gelar.
Simbol-simbol itu menerangkan keberterimaan masyarakat lokal melakukan dialog budaya, yang didalamnya terdapat dialog agama nenek moyang lokal dengan Hindu-Budha Jawa, dan diterimanya ideom-ideom
budaya Jawa dengan cantik. Dalam arti lain, bahwa bukan terjadi proses
Jawanisasi melainkan pra- Banjarisasi atau dalam konteks yang lebih jauh
adalah proses Indonesasi.
Mari
kita simak cerita dibalik kedatangan Empu Jatmika dengan rombongannya
dan perkawinan Putri Junjung Buih dengan Pangeran Suryanata. Bagaimanapun
tidak keberadaan Putri Junjung Buih dan Pangeran Suryanata tidak dapat
dilacak secara emperik melainkan melalui suatu mitos. Ilmu pengetahuan
tentang mitos disebut mitologi. Melalui mitologi diperoleh suatu
kerangka acuan yang memungkinkan manusia memberi tempat kepada beragam
kesan dan pengalaman yang telah diperolehnya selama hidup.[5]
Katakan saja, kedatangan Empu
Jatmika ke area Kalimantan Selatan telah memperkenalkan ke penduduk
lokal tentang sebuah negara dengan perangkatnya. Sebuah negara tentunya
memerlukan tetangga,akhirnya negara baru itu mampu membangun jaringan
relasi dengan negara lain. Dalam sisi lain, Empu Jatmika menyadari,
bahwa dirinya tidak ditakdirkan bukan untuk menjadi raja ditambah ia
bukan penduduk asli dan tentunya tidak berhak atas tahta yang
dibangunnya sendiri. Empu Jatmika hanya memposisikan diri sebagai raja
sementara, sampai penduduk asli yang dianggap mempunyai kapasitas
sebagai pemimpin ditemukannya. Akhirnya kita ketahui, penduduk lokal itu
bernama Putri Junjung Buih kelak ia menikah dengan Pangeran Suryanata
seorang pangeran yang berasal dari Jawa.
Cerita
di atas mengisyaratkan akan penerimaan kenyataan tentang merembesnya
peradaban Jawa dan bersiap berdialog dengan budaya lokal. Katakan saja
penapsiran warna kuning. Warna kuning di Banjar dianggap memiliki unsur
magis yang dekat dengan kata keramat. Pemaknaan keramat dari warna
kuning dapat dilacak dari mitos tentang munculnya Putri Junjung Buih
dan Pangeran Suryanata. Diceritakan, ketika Putri Junjung Buih muncul
dari buih air, ia memakai kain sutera kuning, baju kuning, berkemben
warna kuning dan berkerudung warna kuning. Begitu juga, ketika Pangeran
Suryanata untuk pertama kali menampakan dirinya pada alam nyata dengan
memakai kain sutera berwarna kuning. Seperti kita ketahui, Putri Junjung
Buih dan Pangeran Suryanata merupakan tokoh yang diyakini sebagai
manusia super human yang dimunculkan di bumi untuk menjadi raja. Warna
kuning di Kalimantan Selatan sampai saat ini oleh sebagian besar
masyarakat Banjar dianggap sebagai warna yang keramat.
Pernikahan
Putri Junjung Buih dan Pangeran Suryanata apabila dicermati merupakan
suatu refleksi kemenduaan yang selalu beroposisi dalam keyakinan agama
lokal (primordial). Dalam agama lokal di Indonesia,secara insani Tuhan
diyakini keberadaannya, akan tetapi manusia tidak dapat berkomunikasi
dengan Tuhan. Keberadaan Tuhan dapat ditangkap melalui gejala alam yang
berpengaruh terhadap kehidupan manusia, misalnya langit dan bumi,
matahari, bulan, dan bintang-bintang. Manusia berada di bawah yang
mereka akrabi, sedangkan di atas ada langit beserta isinya mereka tidak
kenal dan mistrius. Dan akhirnya muncul konsep dualisme keberadaan,
langit sebagai dunia atas yang absolut dan tidak dikenal, sedangkan bumi
adalah dunia bawah yang mereka akrabi dan memberikan rona kehidupan
bagi manusia.
Pola
relasi kesatuan bagi masyarakat pra sejarah di Indonesia dapat digapai
melalui dua cara, yaitu peperangan dan perkawinan. Dampak peperangan
adalah kematian ke dua belah fihak yang berseteru, akan tetapi akan
muncul kehidupan yang baru. Sementara perkawinan dunia atas dan bawah
(manusia) akan memunculkan keberagaman ciptaan yang berguna bagi
manusia.[6]
Perkawinan dalam
konsep di atas, tampaknya dapat menjelaskan tentang makna dibalik
pernikahan Pangeran Suryanata yang berarti raja dari segala raja
matahari dengan Putri Junjung Buih yang berarti putri bunga berasal
dari air yang dijadikan raja. Di dalam agama Kaharingan diyakini bahwa
alam atas dikuasai oleh Tuhan yang mempunyai empat nama yang salah satu
namanya adalah Bungai atau Tinggang adalah nama burung sakti berkelamin jantan, sedangkan sebagai penguasa alam bawah nama Tuhan disebut sebagai Bawin Jata Balawang yang berarti wanita Jata berpintukan permata.[7] Dalam kata lain, perkawinan Putri Junjung Buih dan
Pangeran Suryanata adalah suatu penyatuan antara dunia atas dan bawah
yang akan membawa keharmonisan dan keselamatan sampai jauh ke generasi
berikutnya. Sisi lain lagi, dapat dikatakan pernikahan Pangeran
Suryanata dengan Putri Junjung Buih adalah
simbol suatu proses dialektika antara agama lokal dengan agama Hindu.
Pernikahan ini pula, merupakan bagaimana arifnya nenek moyang kita
menginformasikan masuk, dan diterimanya peradaban Jawa dengan elok.
Tidak mengherankan ideom jawa dapat ditemukan di banua kita. Sebut saja
kata ulun yang dalam bahasa Jawa kuno adalah pikulun untuk menyebut para
dewa. A.A. Cence juga menuliskan, bahwa Negara Dipa dan
Daha memiliki pusaka-pusaka yang berasal dari Jawa (Majapahit), yaitu:
mahkota kerajaan, gamelan yang bernama Larasati, gong yang bernama si
Rambut Peradah, canang bernama si Macan Papatuk, tombak bernama si
Panutus dan keris bernama si Masagirang dan Jokopiturun. [8] Rees
juga menambahkan, ia menyebutkan pusaka lain yang dimiliki istana
yaitu: singgasana emas, payung kerajaan, beberapa keris di antaranya
bernama Baru Lembah dan Naga Salira dengan sarungnya yang terbalut emas
dan gagangnya bertahtakan berlian, sebilah pedang, lima buah tombak,
kain langgundi, beberapa buah perisai yang terbuat dari emas dan perak
serta seperangkat gamelan. [9]
Begitu juga nama-nama dan gelar para aparat yang menduduki
fungsi-fungsi tertentu dalam birokrasi Negara Dipa dan Daha merupakan
pengaruh dari Jawa (Majapahit) sehingga terdapat kesamaan.[10]
Penerimaan
ideom Jawa itu diperkuat dalam HB yang menganjurkan untuk menuruti
adatnya Orang Jawa. Akan tetapi, kata menuruti disini jangan disamakan
dengan penjiplakan atau plagiator, sebab dialog budaya berbeda dengan
relasi kekuasaan yang dikontruksi sebagai penguasa dan yang dikuasai,
melainkan kesetaraan budaya dari peserta dialog. Katakan
saja, keberadaan Candi Agung yang Hindu dan Candi Laras yang Budha
merupakan contoh nyata tentang bagaimana lokal dengan kearifannya
membelai peradaban dari Jawa.
Proses
Banjarisasi masih berlanjut ketika agama Islam yang dibawa oleh Khatib
Dayan pada abad XVI masuk ke Banua kita. Dalam HB disebut-sebut, Khatib
Dayan memimpin serdadu Jawa datang ke Kalimantan Selatan.
Kembali kita coba merenungkan tentang ini, informasi ini bisa
ditafsirkan, bahwa budaya Jawa datang ke Kalimantan Selatan dengan
paksaan. Apabila tapsiran ini diyakini maka tidak terjadi proses dialog
budaya dan tidak terjadi proses Indonisasi. Tetapi informasi yang
diberikan oleh HB, kita tapsirkan berbeda dengan yang saya sebutkan maka
cerita akan lebih cantik. Bukankah kata Khatib adalah sebutan untuk
sebutan para guru. Dalam arti lain, bahwa Guru Dayan datang ke
Kalimantan selatan diiringi oleh guru-guru agama Islam lainnya untuk
mengajarkan agama Islam di kalimantan Selatan.Dalam arti lain, Khatib Dayan
bukan seorang panglima perang, sebab dalam tradisi Jawa pemimimpin
perang harus bergelar Temanggung dengan memakai kata yuda. Misalnya
Temanggung Wirayuda atau Sarayuda. Ha ini berarti, masuknya agama Islam
ke Kalimantan Selatan bukan oleh suatu ekspedisi militer, melainkan
disebarkan oleh para guru-guru agama Islam. Ini yang disebut sebagai
suatu transformasi.
Kemudian
transformasi dalam skala besar terjadi, ketika Pangeran Samudra
memenangkan perang tanding melawan sang paman bernama Pangeran
Temanggung. Perang tanding ini apabila diteropong dari agama lokal
merupakan pola relasi dari kesatuan, bahwa kehidupan baru akan muncul
setelah melalui jalan peperangan. Pilihan duel oleh kedua tokoh sejarah
juga menarik untuk disimak. Menurut Anthony Reid, [11]Orang
Asia Tenggara khususnya orang Indonesia, banyak memiliki reputasi dalam
keberanian individual. Tujuan peperangan bagi orang Indonesia adalah
untuk meningkatkan jumlah tenaga manusia bukan untuk membuang nyawa
dengan sia-sia dalam suatu peperangan. Perang tanding yang digelar oleh
kedua tokoh itu, merupakan bagian dari ritus dan persiapan fisik bagi si pemenang untuk menjadi pemimpin yang diberkati oleh Tuhan.
Pasca
kemenangannya, Raden Samudra memindahkan penduduk Daha ke Banjarmasin.
Perpindahan ini merupakan manifestasi dari tujuan perang, yaitu merekrut
jumlah penduduk dan pengukuhannya Raden Samudra sebagai pemimpin mereka
yang baru. Pembauran penduduk di Banjarmasin yang terdiri dari orang
Daha, Melayu, Dayak dan Jawa pada dasarnya merupakan suatu gambaran
tentang bersatunya beragam kelompok manusia menjadi suatu kelompok
masyarakat yang baru yaitu. Orang Banjar.
Ketika Raden Samudra ditasbihkan untuk menjadi sultan pertama di Kesultanan Banjarmasin dan Islam dijadikan sebagai agama negara maka babakan Banjarisasi mulai terbangun. Fenomena ini mem-perlihatkan, apa kata Kuntowijyo, bahwa Islam telah membentuk civic culture [12]atau
budaya bernegara, solidarity, kontrol sosial dan ideologi jihad. Budaya
bernegara yang dimaksud oleh Kuntowijoyo, dapat dilacak keberadaannya
di Kesultanan Banjar, yaitu berlakunya Undang-Undang Sultan Adam.
Membincangkan solidaritas masyarakat Banjar tentunya muaranya berada
pada konsep bubuhan sebagai suatu ikatan sosial. Ikatan bubuhan
sebagai wadah kekeluargaan yang luas tampaknya lebih mengedepankan
ikatan kekerabatan dan sifatnya sangat terbuka bagi seseorang untuk
masuk ke dalam bubuhan ini. Fungsi dari bubuhan adalah memberikan rasa
aman fisik maupun non fisik bagi anggotanya. Barakatan
(kebersamaan) menjadi pilar penopang dari bangunan suatu bubuhan.
Barakatan dapat dianalogikan dengan prinsif equality. Akan
tetapi kebersamaan tidak melulu bersifat profan melainkan ruhnya
menetes dan merembes menghujam jantung sanubari yang kemudian
direfleksikan ke dalam nilai-nilai dan norma-norma sosial yang oleh para
pakar ilmu sosial disebuit folkways. Adapun ideologi jihad kelak muncul
pada gerakan sosial-gerakan sosial yang menjadi bagian dari Perang
Banjarmasin yang berakhir pada awal abad XX.
Kembali
pada awal diskusi tentang Islam, akhirnya agama Islam dijadikan pedoman
bagi kehidupan oleh orang Banjar akhirnya memunculkan dan mengentalkan identitas ke-Banjaran. Identitas ke-Banjaran muncul dan ada dalam
suatu interaksi sebagai pembeda atau penanda dengan golongan sosial
lainnya. Interaksi itu semakin nampak ketika kesultanan Banjarmasin dan
masyarakat baru, yaitu masyarakat Banjar yang mobile dengan budaya
pesisirnya semakin eksis dalam dunia perdagangan internasional. Sebagai
masyarakat baru yang mobilitas tinggi dengan basis ekonominya dari
perdagangan, Banjarmasin sebagai kota bandar mulai didatanggi oleh
beragam suku bangsa maupun bangsa dari luar nusantara. Cina, Arab,
Parsi, bahkan Eropa singgah di kota ini menjadikannya sebagai kota
kosmopolit. Kehadiran mereka dengan membawa budayanya masing memperkaya
wacana masyarakat Banjar yang baru ini. Bagaimana Orang Cina diterima
oleh masyarakat Banjar, sampai sekarang masih dapat kita lihat. Katakan
saja, hubungan orang Cina dan masyarakat Banjar tidak pernah ditandai
dengan konflik seperti kebanyakan di daerah Jawa pada beberapa tahun
kebelakang. Padahal dalam catatan sejarah seperti yang dikumpulkan oleh
Slamet Mulyana yang kemudian tidak terlalu disalahkan oleh
Denys Lombard, bahwa ada hubungan yang harmonis antara Orang jawa
dengan Orang Cina, bahkan banyak juga Orang Cina menjadi penyebar agama
Islam.[13] Kita kembali ke tanah Banjar, tidak
jarang wanita-wanita Cina nikah dengan Orang Banjar dan akhirnya
memeluk agama Islam. Bahkan makanan yang merupakan bagian dari budaya
Cina, yaitu mie baso pada masa ini telah merambah ke seluruh pelosok,
walaupun penjualnya bukan Orang Cina melainkan penduduk lokal.
Menarik untu disimak tentang pakaian. Pakaian tidak hanya dilihat dari fungsinya sebagai penutup tubuh. Dalam pakaian
terdapat ekspresi identitas pemakainya. Apabila kita mencermati gambar
orang dahulu maka yang tampak adalah seseorang memakai kain persegi
panjang yang dililitkan untuk menutupi sekitar bagian bawah tubuh baik
kaum pria maupun wanitanya. Status sipemakainya akan
tampak dari kualitas bahan kain yang dipakainya, corak dan perhiasan
yang menjadi penyertanya. Sukar bagi saya untuk menarasikan pakaian
Orang Banjar dahulu. Sebagai analogi saya kutip perjalanan Francois de
Vitre ke Aceh pada abad XVII ke Aceh, ia menceritakan, bahwa kaum
bangsawan dan pedagang menggunakan katun atau sutera yang dililitkan pada tubuh hingga lutut dengan lengan yang juga lebar dan terbuka dibagian depan.[14] Kaum wanita umumnya menggunakan kain katun dari pinggang hingga lutut dan sepotong kain lain untuk bagian dada hingga pinggang.[15]
Pemberitaan
Francois di atas, memberi keterangan bahwa pakaian di Indonesia sudah
mulai berkembang. Perkembangan pakaian dapat ditelusuri dari tulisan
Jean Gelman Taylor. Jean berujar, bahwa sejak abad XIII
pakaian laki-laki maupun perempuan telah berkembang dengan cara yang
berbeda dari mulai bahan sampai warna-warna yang dianggap
serasi sesuai dengan jenis kelaminnya. Pakaian pria berkembang untuk
menutupi lekuk tubuh tanpa harus membatasi gerakannya dengan warna yang
lebih sederhana, kebalikannya pakaian perempuan terus menerus berkreasi untuk menciptakan keindahan dengan warna-warna yang menyolok walaupun harus membatasi gerak fisiknya.[16]
Penceritaan Francois dan pendapat Jean dapat dipakai untuk menjelaskan
perkembangan pakaian dari zaman Junjung Buih dan perkembangan Negara
Dipa sebagai sebuah kerajaan yang membangun relasi antar negara. Contoh
kongkrit tentang pakaian lilitan kain yang digunakan perempuan Banjar
sekitar abad XIII sisanya masih terrefleksiakan pada masa sekarang yaitu
busana pernikahan wanita Banjar.
Di atas telah diwartakan, bahwa agama Islam telah membangun civic culture
dalam Kesultanan Banjar. Katakan saja, dalam ajaran Islam telah
diputuskan tentang apa yang boleh dipakai dan yang tidak boleh.
Pemakaian pakaian muslim pada masa zaman kesultanan
fenomena masih banyak kita jumpai pada masa kekinian. Pakaian muslim
kaum pria baik masa kesultanan maupun kekinian pada dasarnya meniru
pakaian Arab. Dalam fakta sejarah, pakaian muslim, yaitu jubah panjang
berwarna putih dan sorban dikepala selalu dipakai oleh pemuka-pemuka
perlawanan terhadap pemerintahan kolonial pada babakan Perang Banjar
dalam abad XIX. Contoh serupa dari luar Banjar adalah busana
Pangeran Diponogoro, Kyai Mojo, Sentot dari Jawan, Imam Bonjol dan kaum
wahabi lainnya dari tanah Minangkabau, Tengku Umar, Teuku Cik Di Tiro
dari Aceh, dan aktivis-aktivis para Kiai dari tatar Sunda dalam memimpin
gerakan sosial seperti yang digambarkan oleh almarhum begawan sejarah
Sartono Kartodirdjo dalam disertasinya memperkuat anggapan busana Islam gaya Arab dapat disamakan dengan pakaian perang Islam. Terkadang orang Belanda ataupun orang awam
pada masa kekinian mencitrakan pakaian muslim identik dengan ketaatan
beragama ataupun simbol pertentangan terhadap keputusan yang terlalu
bersifat keduniawian. Menarik disimak, pada masyarakat
Banjar baik yang berada di Banjarmasin, Martapura dan wilayah Hulu
Sungai, banyak kita temukan orang berpakain jubah ke Islaman atau ke
Araban, akan tetapi pemakainya tidak dapat kita identikan dengan pemeluk
agama Islam radikal seperti kebanyakan yang terjadi di Jawa. Atau
pakaian Islam model ini diidentikan dengan kebangkitan Islam seperti
yang digalaukan oleh banyak negara di Eropa Barat maupun Amerika.
Pada
masa kekinian, pakaian muslim tidak melulu seperti pakaian jubah Arab,
akan tetapi memakai sarung, ataupun celana dengan bajunya teluk belangga
ataupun baju kokonya. Baju gamis koko merupakan fenomena yang menarik
juga. Sebab koko adalah sebutan kaka untuk Orang Cina. Dalam kata lain baju gamis yang populer juga diadopsi dari pakaian orang Cina.
Dialog Islam dan budaya Banjar juga terlihat pada seni ukir yang banyak menghiasi rumah-rumah Banjar.[17] Dalam agama Islam tampaknya ada pelarangan untuk menggambarkan mahluk-mahluk hidup, khususnya binatang. Pelarangan itu, tidak membuat seniman ukir Banjar
mandeg tanpa bisa berkreasi. Lingkungan flora berbentuk buah, bunga,
sulur dan batang di sekitarnya mengilhami seniman ukir Banjar untuk
berkarya. Perenungan pencarian alternatif untuk berkarya
sesuai dengan anjuran agama dilakukan dan ditemukan jalan keluarnya.
Pada akhirnya para seniman ukir Banjar mampu berkarya untuk
membangun seni ukir dan seni khias. Katakan saja nama-nama seperti
sungkul tiang tangga, tatah kandang rasi, tatah tataban, tatah tawing
halat, tatah atas lalongkang,dan tanah sampayan.[18]
Transformasi
budaya di Banjar dengan Jawapun masih terus berlanjut. Bahkan De Graaf
menyebut, bahwa budaya Melayu yang dekat dengan Jawa adalah budaya
Banjar.[19]
Katakan saja, gelar-gelar yang dipakai oleh sultan-sultan Banjar
merupakan contoh yang tampak karena tertulis dalam laporan-laporan
kolonial, yaitu sultan, susuhunan, panembahan dan khalifah merupakan
contoh dari persoalan itu.
Transformasi Pendidikan
Transformasi
pendidikan merupakan jalan linear menuju peradaban. Dalam setiap
kelompok masyarakat, pendidikan itu diselenggarakan baik secara formal
melalui sebuah lembaga pendidikan formal, maupun secara informal melalui
beragam bentuk komunikasi sosial, begitulah kata almarhum Kuntowijoyo.[20]
Kita mulai dari seorang intelektual Banjar yang hidup pada akhir abad
XVIII dan awal abad XX, yaitu Syeh Arsyad Al Banjari. Saya merasa perlu
mengetengahkan intelektual ini, karena ia berperan paling depan sebagai
pionir dalam membangun pembentukan sistem pengetahuan masyarakat Banjar.
Mohamad
Arsyad dari kecil sudah masyhur kecerdasannya, sehingga sultan pada
masa itu merasa perlu untuk menyekolahkannya ke Mekah. Pengiriman studi
Mohamad Arsyad merupakan contoh betapa pedulinya penguasa pada dunia
pendidikan. Di akhir masa studinya Syekh Arsyad Al Banjari, ia diberikan izin untuk mengajar di Mesjidil Haram.
Ketika kembali
Ke Banjarmasin pada tahun 1773, sultan sangat menghargai
keintelektualannya, ia tidak dipaksa untuk menuruti kerangka sosial
budaya keraton, tetapi malah diberikan wewenang dan diakui
hak-hak pribadinya. Contoh penghargaan sultan terhadap
keintelektualaannya, sultan tidak marah, ketika Mohamad Arsyad Al
Banjari mengeluarkan fatwa tentang pertanyaan apakah sultan berhak
menghukum orang yang tidak sembahyang Jumat dengan pembayaran denda
kepadanya.[21]
Selain itu, Syekh Arsyad Al Banjari menyumbang pikiran dan membentuk
jabatan mufti dalam struktur kepegawaian Kesultanan Banjar. Syech
Mohamad Arsyad Al Banjari banyak menulis buku, salah satu karyanya yang
monomental adalah kitab Sabilal Muhtadin.
Keintelektualan
Syekh Arsyad Al Banjari tidak melulu dalam bidang keagamaan, persoalan
di luar keagamaanpun ia mumpuni. Misalnya, ketika ia membangun sebuah kampung baru di areal tanah kosong jauh dari keraton yang sekarang dikenal dengan sebutan dalam Pagar. Ia juga menggali saluran air baru (kanal) berfungsi sebagai irigrasi untuk kepentingan pertanian. Sekarang daerah itu dikenal dengan nama Kampung Sungai Tuan yang juga dijadikan tempat pendidikan agama Islam dengan model sorongan .
Kampung
Sungai Tuan yang dibangun oleh Syekh Mohamad Arsyad Al Banjari,
mengisyaratkan, bahwa transformasi pendidikan yang dialaminya
menghasilkan kearifan aktual. Katakan saja, dalam sosok Syekh Mohamad
Arsyad Al Banjari memancarkan sesosok ulama yang sangat diperlukan baik oleh kesultanan maupun oleh rakyat. Kampung Sungai Tuan juga merupakan refleksi dari pembentukan sosok budaya Banjar Islam yang egaliter.
Pada awal Abad XX, semangat belajar manusia Banjar semakin tinggi. Untuk memfasilitasi semangat belajar di Martapura1914 berdiri sekolah Islam Darusalam, tahun 1940 di Amuntai berdiri sekolah Arabische School yang kemudian berubah menjadi Ma ahad Rasyidiyah dan pada tahun 1932 di Barabai berdiri sekolah Diniyah Islamiyah. Kemudian diikuti oleh madrasah Persatuan perguruan Islam, Madrasah Sarekat Islam, Madrasah Musyawatuttalibin,
Sekolah Muhamadiyah, Sekolah taman Siswa dan terakhir Perguruan rakyat
Parindra. Pendidikan yang disebutkan itu semacam proses inisiasi dari
remaja ke dewasa. Kelak alumi dari sekolah-sekolah itu menjadi aktivis pemuda Islam yang bergerak dalam bidang politik, sosial maupun kemasyarakatan.[22]
Dapat dikatakan juga, bahwa sekolah-sekolah itu mempunyai andil besar
dalam membangun sesosok budaya Banjar yang egaliter dan terkadang
ide-ide apabila dicermati, kita akan acungkan jempol. Begitu juga dalam
kehausan menuntut ilmu, banyak para ulama yang belajar agama ke Mekah,
dan banyak juga pemuda Banjar belajar baik agama maupun non ke agamaan
ke Jawa.
Pengembaraan orang Banjar menuntut ilmu membuahkan hasil, paling tidak dalam melemparkan ide. Katakan
saja, pada tahun 1949 masyarakat Banjar yang diwakili oleh Brigjen K.H.
Hasan Basery menyatakan diri, bahwa Kalimantan adalah bagian dari Negara
Kesatuan Indonesia. Begitu juga keberanian warga kalimantan Selatan
yang bersama-sama dengan Sumatra Selatan dan Sulawasi Selatan berani
membubarkan PKI yang saat itu masih kuat pamornya. Pada masa gerakan
mahasiswa 1966, seorang pemuda mahasiswa Fakultas Hukum UNLAM. Banjar
bernama Hasanuddin Mugdi mati tertembak dalam suatu demonstrasi
mahasiswa. Gugurnya Hassnuddin Mugdi apabila dilihat waktunya, ia gugur
lebih awal ketimbang Arif Rahman Hakim ( UI ) Jakarta dan KAPPI lainnya.
Paparan
di atas mengisyaratkan, bawa roh dari pendidikan memberikan kesadaran
manusia Banjar untuk selalu berubah. Ide-ide dan keberanian mengambil
resiko merupakan buah dari pendidikan yang cerdas. Perubahan
budaya dalam bentuk transformasi pendidikan masih berjalan atau masih
berdialog. Dialog dalam transformasi yang akan melahirkan peradaban baru
dari budaya Banjar.
Rekayasa Budaya
Perubahan budaya yang artifisal atau direkayasa biasanya diselenggarakan melalui kekuasaan, begitu hemat Kuntowijoyo.[23] Mendiskusikan fokus
dari relasi kekuasaan sedikitnya terdapat kata dominasi dan hegamoni.
Dalam setiap dominasi akan selalu terdapat relasi kekuasaan. Relasi
kekuasaan itu kemudian dimantapkan dengan strategi
menguasai sehingga tercipta hubungan yang berlangsung dalam tempo yang
panjang walaupun di tengah jalan mengalami keterpurukan. Relasi
hegamonik berupaya menciptakan ketundukan melalui perundingan konsensus
secara aktif sehingga kekuasaan itu tampak dalam pelupuk mata.
Dalam
konteks rekayasa budaya di Banua Banjar dapat dilacak, ketika
bersinggungan dengan budaya Barat, khususnya kolonial Belanda.
Pemerintah kolonial Belanda dalam merekayasa budaya, melalui
perjanjian-perjanjian yang mengikat dan melemahkan. Awalnya melalui
perjanjian pada pertengahan Abad XVIII antar kesultanan Banjar dengan
Belanda membuat kesultanan yang awalnya memiliki etos perdagangan yang
mobil dan bercorak urban kehilangan mobilitasnya.Tuntutan budaya Belanda
yang mengandalkan kepada rasionalitas, efesiensi dan produktivitas
ditambah dengan keserakahan sistem kolonial tidak memberikan ruang
secuilpun kepada para elite lokal untuk berdialog secara kreatif.[24]
Fakta sejarah malah menyebutkan, banyak kaum bangsawan memposisikan
dirinya menjadi bagian dari kekuasaan dari pemerintah kolonial. Apabila
sebelumnya, para bangsawan patuh kepada sultan akhirnya berubah
kepatuhannya kepada pemerintah kolonial. Bisa jadi, kondisi ini yang
disebut sebagai terjadinya pertukaran patron.
Ketika
Perang Banjar meledak, pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1860
menghapuskan Kesultanan Banjar. Sejak saat itu, wilayah kesultanan
Banjar menjadi bagian dari Pemerintahan Hindia Belanda. Kemudian,
Pemerintahan Hindia Belanda oleh banyak akhli disebut sebagai sebagai suatu beamstaat( negara birokrasi) yang bertopang kepada kuatnya gelembung birokrasi, bukan pada dinamika politik yang bermuara dari masyarakat Banjar.
Pemerintah Hindia Belanda dengan mesin birokrasinya yang modern berhasil meluluhlantakan birokrasi tradisional yang diselimuti oleh aura mitologi. Akan tetapi, Pemerintah
Hindia Belanda rupanya bersifat mendua dalam menerapkan sistem
pemerintah di negara jajahan. Kemenduan bersikap terlihat ketika ia
menerapkan sistem in derect rule. Konsep beamstaat bermuasal dari perkembangan pemikiran Barat yang berproses dari abad XV sampai abad XIX. Konsep beamstaat memanfaatkan aparat pemerintahan tradisional (kaum
bangsawan kesultanan) untuk dijadikan bagian dari birokrasi
Pemerintahan Hindia Belanda. Penerapan konsep beamstaat oleh pemerintah
Hindia Belanda oleh Umar Kayam almarhum disebut sebagai suatu proses
yang hakekatnya merupakan pergeseran konsep kosmologis dari manusia
Barat yang sekuler, rasional dan materialis.[25]
Negara
birokrasi Hindia Belanda merupakan hasil rekayasa budaya yang
diarsiteki oleh Belanda yang diterapkan kepada wilayah nusantara untuk
kepentingan politik dan ekonominya. Untuk mengisi kekosongan aparat yang
memiliki kapasitas bukan geneologis bagi negara birokrasinya ia
mendirikan sekolah sesuai dengan anjuran salah satu dari politik etis
yaitu pendidikan. Tentunya termasuk wilayah Kalimantan Selatan yang dalam administrasi Pemerintah Hindia Belanda disebut dengan sebutan Zuid- en Oostkust van Borneo didirikan
sekolah. Sekolah yang akan mencetak pegawai-pegawai rendahan untuk
kepentingan pemerintahan Hindia Belanda ataupun untuk kepentingan
pengusaha-pengusaha partikelir.
Pendidikan secara ideal tidak mengenal diskriminasi. Akan tetapi bagi pemerintahan Hindia Belanda sebagai
penguasa diskriminasi diperlukan sebagai pembeda antara kelas penguasa
dan yang dikuasai. Untuk merealisasi rencanyanya, maka pemerintahan
hindia Belanda mengeluarkan kebijakan pembagian masyarakat menjadi tiga
bagian, yaitu orang Asing Barat, Asing Timur dan pribumi. Dapat
dikatakan, pembagian masyarakat dalam kelas ini merupakan awal dari
pencitraan bangsa kita yang majemuk yang direkayasa oleh kolonial.
Dalam relasi masyarakat majemuk biasanya terdapat kultur dominan yang berperan sebagai wadah pembauran. Tentunya predikat kultur dominan disandang
oleh penguasa yaitu Pemerintah Hindia Belanda. Dalam konsep kultur
dominan ini, maka masyarakat dikonstruksi untuk mengakui, mematuhi,
menjiplak kebudayaan penguasa. Tentunya hal ini berlaku juga di
sekolah-sekolah pada masa itu.
Dominasi penguasa untuk membangun diskriminasi tidak hanya dilihat dari perbedaan warna kulit. Bahkan diskriminasi untuk sesama bumiputera di ruang pendidikan itupun digelar. Katakan saja, bumi putera oleh Pemerintah Hindia Belanda dibagi atas
3 katagori, katagori pertama, yaitu katagori A yang diperuntukan bagi
mereka yang menyandang predikat bangsawan, pejabat tinngi dan penguasa;
(2) katagori B, diperuntukan bagi mereka yang orang tuanya memperoleh pendidikan di MULO, sedangkan (3) katagori C mereka yang orang tua termasuk pegawai rendahan.
Di
Banjarmasin antara tahun 1875-1889 pemerintah kolonial telah mendirikan
sekolah kelas 2 yang diperuntukan untuk mencetak pegawai-pegawai
rendahan menjadi guru dan sekolah kelas 1 bagi anak-anak dari golongan
masyarakat atas dengan bahasa pengantar adalah bahasa Melayu. Sekolah
itu disebut dengan sekolah raja atau Kweekschool voor Inlandse Onderwijzers.[26]
Kondisi
ini membuat tidak terjadinya dialog budaya, malah memunculkan relasi
penguasa dan yang dikuasai, akhirnya budaya Banjar mengalami kemandegan
kultural. Katakan saja, rekayasa budaya yang diintrodusir oleh kolonial
Belanda bukan suatu pembangunan untuk masyarakat akan tetapi untuk
kepentingan politik kekuasaan
Penutup
Perubahan kebudayaan dilalui melalui dua cara, yakni transformasi dan rekayasa.
Masyakat
Banjar mengalami proses transformasi budaya dalam segala aspek melalui
proses waktu yang panjang. Transformasi yang paling elok adalah dialog
budaya antara masyarakat Pra- Banjar dengan Jawa dan Islam. Pada
akhirnya dialog budaya itu melahirkan dan memberikan identitas ke
Banjaran sebagai pembeda dengan sukubangsa lainnya yang memiliki sifat
mobil yang tinggi
Dalam sisi lain, kedatangan orang Belanda sebagai penguasa dengan kekuasaannya mengkonstruksi
budaya bagi masyarakat Banjar untuk kepentingan politik membuat
kemandagen budaya. Dalam arti lain, kebudayaan yang direkayasa oleh
pemerintah kolonial tidak boleh terulang, karena akan memunculkan ketumpulan kreativitas.
Kedepannya,
belajar dari pengalaman sejarah di atas maka perubahan kebudayaan
melalui rekayasa budaya untuk mengeksplotasi masyarakat oleh individu,
kelompok maupun negara dengan tujuan politisasi harus dikubur. .
Daftar Pustaka
Cence, A.A., 1928, De Kroniek van Bandjarmasin. Proefschrift. Amsterdam: Mees Antpoort.
Daeng, Hans .J., 2000., Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan.Yogykarta: Pustaka Pelajar.
Dorleans, Bernard, 2006., Orang Indonesia & Orang Prancis dari Abad XVI sampai dengan Abad XX.
Jakarta: Kepustakaan Populer Indonsia
Ideham, M. Suriansyah, dkk, 2007., Sejarah Banjar. Banjarmasin: Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan.
Kayam, Umar, 1989, ”Transformasi Budaya Kita” dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Gadjah Mada Ilmu-ilmu Humaniora, 2000. Yogyakarta; Gadjah Mada University.
Kuntowijoyo,1997, Identitas Politik Umat Islam. Bandung: Mizan.
,1987., Budaya dan Masyarakat. Jogyakarta: Tiara Wacana
Kusmartono, Vida Pervaya Rasianti, 2002, ”Pemerintahan Early State Negara Dipa di Kalimantan Tenggara” makalah dalam Pertemuan Ilmiah Arkeologi IX dan Kongres IAAI 2002 di Kediri,23-27 2002.
Rees, W.A.van, 1865., De Bandjarmasinsche Krigt van 1859-1863. Arnhem: Thema.
Reid, Anthony, 1992., Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680. Jakarta: Yayasan Obor
Steenbrink. A. Karel, 1984., Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad XIX. Jakarta: Bulan Bintang
Sumardjo Jakob, 2002., Arkeologi Budaya Indonesia. Jogyakarta: Qalam
Taylor, Jean Gelman, 2005., ” Kostum dan Gender di Jawa kolonial 1800-1940. Dalam Heng Schulte
Nordholt (ed.), Out Ward Appearances Trend, Identitas, Kepentingan. Yogyakarta: LKis
Ukur, Fridolin, 1971, Tentang Jawab Suku Dayak. Jakarta: Sekolah Tinggi Theologi.
[1] Umar Kayam,1989, ” Transformasi Budaya
Kita” dalam Pidato Pengukuhan Guru Besar Universitas Gadjah Mada
Ilmu-ilmu Humaniora, 2000. (Yogyakarta; Gadjah Mada University), hlm.183
[2] Ibid
[3] Kuntowijoyo,1997, Identitas Politik Umat Islam. (Bandung: Mizan},hlm.152-153
[4] Ibid
[5] Hans .J. Daeng,2000., Manusia, Kebudayaan dan Lingkungan.Yogykarta: Pustaka Pelajar.
[6] Sumardjo Jakob, 2002, Arkeologi Budaya Indonesia. (Yogyakarta: Qalam)
[7] Lihat Fridolin Ukur, 1971, Tentang Jawab Suku Dayak. (Jakarta: Sekolah Tinggi Theologi), hlm.27-40
[8] A.A. Cence, 1928, De Kroniek van Bandjarmasin. Proefschrift. (Amsterdam: Mees Antpoort), hlm.147-148
[9] W.A.van Rees,1865., De Bandjarmasinsche Krigt van 1859-1863. (Arnhem: Thema),hlm.28-29
[10]
Tentang gelar dan fungsi aparat pemerintahan Negara Dipa dan Daha lihat
M. Suriansyah Ideham, dkk, 2007., Sejarah Banjar. (Banjarmasin: Badan
Penelitian dan Pengembangan Daerah Provinsi Kalimantan Selatan). Lihat
juga Vida Pervaya Rasianti Kusmartono,2002,” Pemerintahan Early State
Negara Dipa di Kalimantan Tenggara” makalah dalam Pertemuan Ilmiah
Arkeologi IX dan Kongres IAAI 2002 di Kediri,23-27 2002:
[11] Anthony Reid, 1992., Asia Tenggara dalam Kurun Niaga tahun 1450-1686. (Jakarta: yayasan Obor),hlm.141
[12] Kuntowijoyo, 1997, op.cit, hlm.193
[13] Denys Lombard dan Claudine Salmon,1991. “ Islam Dan Ketionghoan” dalam Ilmu Humaniora Persembahan
bagi Prof. Dra. Siti Baroroh dan Prof. Dr. Sulastin Sutrisno Fakultas
sastra UGM 4-5 Maret 1991. (Jogyakarta: Gadjah Mada University Pers), hlm.431-435
[14] Bernard Dorleans, 2006, Orang Indonesia & Orang Prancis dari Abad XVI sampai Abad XX.(Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia),hlm.23
[15] Ibid
[16]
Jean Gelman Taylor,2005,” Kostum dan Gender di Jawa Kolonial 1800-1940”
dalam Henk Schulte Nordholt (ed.), Outward Appearrances trend,
Identitas, Kepentingan. (Yogyakarta: Lkis), hlm.134.
[17]Tentang Kedekatan Budaya Banjar dengan Islaml lihat Alfani Daud, 1997., Islam & Masyarakat Banjar. ( Jakarta: raja Grafindo Persada).
[18]Penjelasan tentang seni ukir Banjar lihat, Saleh, M. Idwar, 1978., Rumah daerah Kalimantan Selatan. Banjarmasin: Depdibud.
[19] H.J. De Graaf,1986, Puncak Kekuasaan Mataram. (Jakarta: Grafiti Pers)
[20] Kuntowijoyo,1987., Budaya dan masyarakat.(Yogyakarta: Tiara Wacana), hlm.37.
[21]Karel A Steenbrink, 1984., Beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia pada Abad XIX.(Jakarta: Bulan Bintang), hlm.92-93.
[22] Suriansyah Ideham, dkk. Op.cit.,hlm.382.
[23] Kuntowijoyo,1997, op.cit hlm 153-154
[24] Umar Kayam, Op.cit., hlm.198-199
[25]Umar Kyam, op.cit., hlm.202
[26]Entang sekolah yang dibangun oleh pemerintah colonial Belanda di banjarmasin lihat Suriansyah Ideham,dkk, Op.cit., hlm.381