STRATEGI REKAYASA BUDAYA SEBAGAI IMPLEMENTASI PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR TERPADU
STRATEGI REKAYASA BUDAYA SEBAGAI IMPLEMENTASI PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR TERPADU
(INTEGRATED COASTAL MANAGEMENT/ICM)
DALAM PENGELOLAAN PANTAI DI BALI
Oleh : Dr. K.G.Dharma Putra,M.Sc
Tim Ahli Integrated Coastal Management (ICM) GEF/UNDP/IMO Regional Programme for Partnerships in Environmental Management for the Seas of East Asia (PEMSEA) – Badan Lingkungan Hidup Provinsi Bali.
1. Pendahuluan
Dalam
upaya mengatasi permasalahan lingkungan guna tercapainya sasaran
pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan wilayah pesisir
yang optimal dan berkelanjutan, sejak tahun 2000 Pemerintah Propinsi
Bali bekerja sama dengan GEF/UNDP/IMO Regional Programme for Partnerships in Environmental Management for the Seas of East Asia (PEMSEA) dalam Program Pengelolaan Wilayah Pesisir secara Terpadu (Integrated Coastal Management, ICM). Pengelolaan pesisir terpadu
adalah suatu proses dinamis di dalam mana suatu strategi terkoordinasi
dikembangkan dan diimplementasikan dalam rangka alokasi lingkungan,
sosial budaya dan sumberdaya kelembagaan untuk mencapai sasaran
konservasi dan pemanfaatan wilayah pesisir multi-guna yang
berkelanjutan. Proyek Demonstrasi Pengelolaan Wilayah Pesisir secara
Terpadu di Bali dimaksudkan untuk membantu dan membangun kapasitas
daerah, baik pemerintah maupun pihak berkepentingan lainnya (stakeholders), dalam melindungi dan mengelola lingkungan dan sumberdaya wilayah pesisir Bali.
Bersamaan dengan dipilihnya Bali sebagai lokasi demonstrasi pelaksanaan ICM di Indonesia, kegiatan pengamanan Pantai Bali yang dikenal dengan Bali Beach Conservation Project (BBCP) sedang dalam proses pelaksanaannya. Proyek yang terdiri atas Pekerjaan Perlindungan Pura Tanah Lot dan tiga pekerjaan konservasi pantai di Sanur, Nusa Dua dan Kuta sedang hangat dibicarakan oleh masyarakat Bali.
Dalam rentang waktu yang cukup panjang, sejak tahun 2000 hingga tahun
2008, pelaksanaan kegiatan pengamanan pantai Bali telah memberikan pengalaman
yang berharga dalam melaksanakan suatu program pengelolaan lingkungan
di kawasan pesisir dan laut secara terpadu. Secara konsisten kegiatan BBCP telah mengimplementasikan pendekatan ICM dalam mendekatkan jarak antara program pemerintah dengan kebutuhan dan aspirasi masyarakat.
2. Siklus Pengembangan ICM
Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (Integrated Coastal Management/ ICM) adalah pendekatan pengelolaan wilayah yang memiliki mekanisme keterpaduan program diawali dengan melakukan:
(1)persiapan, (2)inisiasi, (3)pengembangan, (4)adopsi, (5)implementasi,
dan(6) penyempurnaan dan konsolidasi, untuk selanjutnya dilanjutkan
dengan siklus yang baru seperti terlihat dalam Gambar 1.
Provinsi Bali yang telah ditunjuk oleh GEF/UNDP/IMO Regional Programme for Partnerships in Environmental Management for the Seas of East Asia (PEMSEA) memulai siklus ICM pada tahun 2000 dengan ditetapkannya sebuah tim lintas sektor dibantu oleh ahli dari perguruan tinggi untuk
melakukan persiapan awal berupa identifikasi profil wilayah pesisir
Bali Tenggara. Dalam mempersiapkan siklus ICM di Provinsi Bali,
Bapedalda Bali( sekarang Badan Lingkungan Hidup ) sebagai lembaga yang
dijadikan PMO (Project Management Office) sudah menyusun
beberapa kegiatan yang mengikuti siklus ICM diantaranya pembentukan tim
teknis ICM melalui Keputusan Gubernur Bali Nomor 342 tahun 2000 yang
bertugas melaksanakan kegiatan pengelolaan wilayah pesisir di Bali
sesuai dengan mekanisme ICM.
Beberapa kegiatan yang sudah dihasilkan adalah penyusunan dokumen Profil Wilayah Pesisir Bali Tenggara yang berisi potensi dan permasalahan wilayah pesisir dan laut di wilayah Bali
bagian Tenggara, Rencana Strategis Pengelolaan Wilayah Pesisir Bali
Tenggara, Analisis Resiko Lingkungan Hidup, Zonasi Kawasan Teluk Benoa, serta beberapa kebijakan terkait pengelolaan lingkungan
hidup secara terpadu di wilayah pesisir dan laut. Berdasarkan beberapa
hasill dari kegiatan ICM tersebut, diharapkan kebijakan pengelolaan
wilayah pesisir dan laut di Bali dapat memenuhi kaidah pembangunan berkelanjutan.
|
Gambar 6.3
Siklus Pengembangan dan Implementasi ICM
( Sumber: Bapedalda Bali,2004)
Gambar 1. Siklus ICM
Dalam melaksanakan pendekatan ICM di Bali telah dapat diidentifikasi adanya konflik
kepentingan dalam pemanfaatan wilayah pesisir dan laut. Dampak yang
terjadi dari konflik kepentingan pemanfaatan kawasan pesisir dan laut telah menimbulkan keresahan masyarakat akibat terdesaknya akses masyarakat yang secara historis telah secara turun temurun menggantungkan penghidupannya di pantai serta tertutupnya
akses ke pantai/laut yang dapat menghambat kelancaran masyarakat dalam
melangsungkan upacara keagamaan di pantai. Dampak ini umumnya muncul
karena konflik pemanfaatan ruang pantai antara beberapa aktivitas dengan kegiatan masyarakat lokal di daerah pesisir.
Kaitan antara beberapa aktivitas di wilayah pesisir dan laut yang bercampur aduk menjadi satu jaring-jaring konflik yang memberikan dampak berkelanjutan. Dari beberapa kegiatan yang ada di kawasan pesisir dan laut dapat dibuatkan suatu bagan gambaran dari hubungan antar kegiatan yang menimbulkan konflik pemanfaatan kawasan tersebut, seperti terlihat dalam Gambar 2.
Gambar 2
Konflik Kepentingan di Kawasan Pesisir dan Laut
3. Permasalahan Utama di Wilayah Pesisir dan Laut Bali
Pembangunan dan pemanfaatan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut yang sangat beragam telah menimbulkan berbagai permasalahan-permasalahan yang secara umum dapat dibagi atas dua kategori yaitu (a) permasalahan yang
berasal dari dalam wilayah pesisir dan laut itu sendiri sebagai akibat
dari pemanfaatan ruang dan sumberdaya alam, dan (b) permasalahan yang
timbul akibat kegiatan di luar wilayah pesisir dan laut yang langsung atau tidak langsung berdampak terhadap proses dan sistem wilayah pesisir.
Beberapa permasalahan lingkungan yang utama di wilayah pesisir dan laut di Propinsi Bali,
sebagai akibat kegiatan pembangunan dan pemanfaatan langsung ruang dan
sumberdaya serta jasa-jasa lingkungan pesisir/laut antara lain :
3.1 Penurunan potensi atau ketersediaan sumberdaya alam, akibat pemanfaatan yang destruktif dan eksploitasi berlebih.
Tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan karang di daerah Bali telah mencapai 430 % dari potensi lestarinya sedangkan tingkat pemanfaatan ikan pelagis di perairan Propinsi Bali mencapai 100,37% dari potensi lestari dan khusus di wilayah perairan tenggara Pulau Bali tingkat pemanfaatannya sudah mencapai 124,52% dari potensi lestari. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjadi eksploitasi berlebih terhadap sumberdaya ikan karang dan ikan pelagis. Kalau hal ini berlangsung terus maka akan terjadi penurunan potensi sumberdaya hayati perikanan.
Penurunan potensi sumberdaya hayati perikanan
di wilayah pesisir Pulau Bali juga disebabkan oleh praktek-praktek
penangkapan ikan yang bersifat destruktif dan ilegal, seperti pengeboman
ikan yang masih belum teratasi serta penangkapan ikan karang dengan menggunakan bahan beracun (potassium sianida).
3.2 Penurunan kualitas lingkungan akibat pencemaran dari berbagai jenis kegiatan di daratan dan di laut.
Pariwisata merupakan sektor pendorong pertumbuhan ekonomi daerah Bali. Dalam hal ini wilayah pesisir dan laut menjadi andalan dalam pembangunan pariwisata di Bali,
baik sebagai penyedia sarana maupun sebagai obyek wisata. Mengingat
pariwisata mempunyai muatan lingkungan yang tinggi, artinya dibutuhkan
kualitas lingkungan yang prima, maka masalah-masalah penurunan kualitas lingkungan akibat pencemaran sangat mengancam keberlanjutan fungsi dan manfaat wilayah pesisir dalam menunjang pembangunan pariwisata. Begitu
juga halnya dengan pembangunan sektor perikanan, dimana kualitas
lingkungan yang baik menjadi prasyarat bagi keberlanjutannya.
Perairan
pesisir Pulau Bali dewasa ini telah menunjukkan indikasi adanya
pencemaran bahan organik dan eutrofikasi. Demikian juga halnya dengan
kontaminasi bakteri E. coliform sudah cukup tinggi di beberapa kawasan
pantai terutama yang dekat dengan muara sungai.
3.3 Kerusakan habitat dan ekosistem wilayah pesisir.
Ekosistem pesisir seperti hutan mangrove, terumbu karang dan padang lamun di wilayah pesisir Pulau Bali mendapatkan tekanan-tekanan akibat pembangunan dan aktivitas manusia lainnya. Terumbu karang yang menjadi aset penting pengembangan pariwisata bahari di Bali
cenderung mengalami peningkatan kerusakan akibat aktivitas pariwisata
bahari yang tidak terkontrol dengan baik dan praktek-praktek penangkapan
ikan ilegal. Hutan mangrove di Teluk Benoa yang merupakan paru-paru kota,
semakin terdesak oleh tuntutan lahan untuk berbagai penggunaan lain,
seperti pengembangan bandara, pengembangan pusat-pusat bisnis, pemukiman
dan lain-lain. Padang lamun yang juga merupakan habitat kritis di wilayah
pesisir, yang mempunyai nilai ekologis yang sangat strategis telah
banyak mengalami alterasi dan pengikisan akibat reklamasi dan
pengembangan budidaya rumput laut. Kerusakan habitat-habitat tersebut
mempunyai implikasi terhadap penurunan nilai produksi dan nilai rekreasi/pariwisata dan nilai konservasi ekosistem-ekosistem tersebut.
3.4 Kerusakan fisik pantai akibat erosi.
Erosi pantai merupakan masalah yang paling menonjol terjadi di wilayah pesisir Bali
secara keseluruhan. Erosi pantai terjadi hampir di seluruh kawasan
pantai di Bali dengan laju yang berbeda-beda dan pantai-pantai menjadi
kawasan pariwisata telah mengalami erosi yang paling parah, seperti
pantai Sanur, Candidasa, Nusa Dua dan Kuta. Pantai-pantai wisata yang
mengalami erosi tersebut selain menurunkan nilai estetika dan nilai
amenitas kawasan tetapi juga mengancam beberapa fasilitas pariwisata
yang ada.
Secara umum, erosi pantai di Bali telah mengancam berbagai infrastruktur, bangunan dan lahan pertanian. Disamping karena faktor alam, erosi pantai di Bali cenderung diperparah oleh ulah manusia yang melakukan intervensi berlebihan di wilayah pantai, sehingga menganggu keseimbangan proses-proses dinamis pantai. Beberapa bentuk intervensi manusia yang memperparah terjadinya erosi antara lain pelanggaran sempadan pantai, pengambilan material pantai, pembuatan bangunan pengaman pantai yang bersifat spasial, dan lain-lain.
3.5 Konflik kepentingan antar berbagai sektor kegiatan pembangunan dan pemanfaatan.
Meningkatnya kegiatan berbagai sektor pemerintah dan swasta, mendorong adanya kompetisi diantara
para pelaku pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut tersebut. Kompetisi
ini menyebabkan adanya tumpang tindihnya perencanaan dan pengelolaan
wilayah pesisir dari berbagai kegiatan sektoral, pemerintah daerah,
masyarakat setempat dan swasta. Pihak yang berkepentingan terhadap
sumberdaya wilayah pesisir dan laut menyusun rencana kerja secara sendiri-sendiri, sehingga dalam pelaksanaannya sering tumpang tindih satu dengan yang lain.
Sementara
itu, sifat sumberdaya pesisir dan lautan yang multiguna serta
melibatkan berbagai pihak-pihak yang berkepentingan, maka konflik dalam
pemanfaatan tidak terhindarkan. Konflik kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya
wilayah pesisir seringkali membawa dampak terhadap keresahan masyarakat
akibat adanya ketidakadilan yang dirasakan. Konflik pemanfaatan sumberdaya wilayah pesisir di Bali,
umumnya terjadi akibat tumpang tindih dalam pemanfaatan ruang yang di
dalamnya terdapat berbagai bentuk pemanfaatan. Hal ini terjadi karena
belum adanya zonasi pemanfaatan wilayah pesisir dan laut untuk Provinsi
Bali.
Mengingat dominannya sektor pariwisata yang memanfaatkan wilayah pesisir
Pulau Bali, maka seringkali pariwisata menjadi sumber dan titik sentral
dari konflik tersebut. Selain itu, konflik kepentingan juga
terjadi antara konservasi dengan pemanfaatan non konservasi, dimana hal
ini seringkali membawa dampak yang buruk terhadap upaya-upaya
pelestarian lingkungan.
5. Kendala dalam Pengelolaan Pantai di Bali
Berdasarkan pengamatan terhadap adanya konflik pemanfaatan kawasan pesisir dan laut, terdapat beberapa isu utama yang menjadi kendala dalam pengelolaan pantai di Bali. Kendala tersebut diantaranya :
5.1 Lemahnya Kelembagaan dan Koordinasi
Belum
adanya lembaga yang secara khusus bertanggung jawab dan berwenang
menangani wilayah pesisir dan laut, sehingga saat ini semua pihak yang
berkepentingan jalan sendiri-sendiri sesuai dengan kepentingan sektor
masing-masing. Hal seperti ini akan sangat potensial untuk terjadinya
konflik kepentingan atau konflik pemanfaatan di wilayah pesisir dan
laut.
Saat ini terdapat beberapa lembaga departemen dan non-departemen yang terlibat dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Lembaga-lembaga
tersebut dalam melakukan aktivitasnya di wilayah tersebut hanya sebatas
kewenangannya masing-masing yang didasarkan atas peraturan
perundang-undangan sektoral masing-masing lembaga tersebut, tanpa adanya
koordinasi yang baik. Belum lagi kesenjangan antara pemerintah pusat
dan daerah, antara pemerintah propinsi dengan pemerintah kabupaten/kota
serta antara pemerintah kabupaten/kota yang satu dengan lainnya.
Padahal dalam hal pengelolaan wilayah pesisir yang multiguna sangat diperlukan suatu lembaga
yang mempunyai tugas, wewenang dan tanggung jawab dalam hal (i)
mengakomodasikan mekanisme koordinasi kegiatan antar sektor dalam
pengelolaan, pengembangan dan konservasi kekayaan alam di kawasan pantai
dan laut; (ii) mengkoordinasikan kegiatan pengelolaan data dan
informasi serta mekanisme diseminasinya; dan (iii)mengembangkan
peraturan-peraturan dalam upaya pelaksanaan dan penegakan hukum secara
efektif.
5.2 Lemahnya Sistem Hukum dan Penegakannya
Disamping lemahnya kelembagaan, juga perangkat hukum yang mengatur tentang batas-batas kewenangan antara satu instansi dengan instansi yang lain belum jelas
sehingga hal ini dapat menimbulkan keragu-raguan di dalam bertindak,
juga peraturan tentang batas-batas wilayah kewenangan di laut satu
daerah dengan daerah lain belum diatur.
Sampai
saat ini dapat dikatakan bahwa wilayah pesisir dan laut belum di atur
secara khusus yang memasukkan pertimbangan-pertimbangan non-yuridis
seperti pertimbangan sifat ekologisnya yang khas, ekonomi,
sosial-budaya, tradisi, serta pertahanan keamanan. Masing-masing sektor
yang terlibat di dalam wilayah pesisir dan laut mempunyai aturan-aturan tersendiri (sektoral) yang kadangkala saling tumpang tindih dalam hal kewenangan.
Peraturan
perundang-undangan yang bersifat sektoral dan belum operasional
merupakan salah satu penyebab terjadinya penyimpangan-penyimpangan dalam
pengelolaan dari rencana yang ada, karena masing-masing stakeholder
baik pemerintah maupun swasta dan masyarakat berusaha memanfaatkan
sumberdaya yang ada di wilayah pesisir seoptimal mungkin sesuai dengan
kepentingan masing-masing.
Sementara
itu, penegakan hukum atas pelanggaran-pelanggaran aktivitas di wilayah
pesisir dan laut masih belum berjalan efektif, yang disebabkan oleh
lemahnya pengawasan di laut, keterbatasan kapasitas aparat yang
berwenang serta sarana dan prasarana yang tidak mendukung.
5.3 Rendahnya Kesadaran Masyarakat
Tingkat kesadaran masyarakat akan pentingnya fungsi wilayah pesisir dan laut bagi pembangunan masih rendah, begitu juga halnya dengan tingkat kesadaran masyarakat dalam ikut menjaga kelestarian lingkungan pesisir dan laut.
5.4 Kurangnya Perangkat Sistem Informasi
Ketersediaan data dan informasi tentang
wilayah pesisir dan laut saat ini masih jauh dari memadai, baik
mengenai potensi sumberdaya alam maupun kondisi lingkungannya mengingat
belum banyaknya perhatian tentang sumberdaya alam ini. Disamping juga
terbatasnya penguasaan teknologi kelautan akibat sumberdaya manusia di
sektor ini sangat terbatas jumlah dan kualitasnya serta dukungan
prasarana dan sarana penelitian masih sangat kurang.
Kurangnya
data dan informasi mengenai wilayah pesisir terlebih-lebih data dan
informasi mengenai daya dukung dan daya tampung lingkungan juga
mengakibatkan wilayah ini berkembang secara tak terkendali.
Di sisi lain, wilayah pesisir dan laut seringkali digambarkan sebagai korban-korban kurangnya pertukaran informasi. Hal
ini menunjukkan bahwa betapa sulitnya memadukan data dan informasi yang
ada untuk bahan pengambilan keputusan oleh berbagai pihak yang
berkepentingan. Masalah yang berkaitan dengan sistem informasi dalam
pengelolaan wilayah pesisir antara lain (i) bagaimana mencari suatu cara
untuk menelusuri dan menghubungkan data/informasi tersebut menjadi
suatu data bersama dalam suatu bentuk yang dapat diakses dan digunakan
(ii) bagaimana cara mengidentifikasi dan mengatasi kesenjangan informasi
yang ada kemudian membuatnya menjadi suatu yang relevan untuk
diterapkan (iii) kelemahan pada seri waktu pengambilan data.
6. Peluang bagi Perbaikan Manajemen Pengelolaan Pantai di Bali
Sumberdaya
pesisir dan laut di masa yang akan datang memegang peranan penting
dalam menunjang pembangunan ekonomi nasional dan daerah. Semakin
bertambahnya jumlah penduduk sementara ketersediaan sumberdaya alam di
darat telah semakin menipis, maka pemanfaatan sumberdaya alam dan
jasa-jasa lingkungan wilayah pesisir dan laut sebagai andalan baru pembangunan nasional dan daerah menjadi semakin nyata. Adanya
pergeseran konsentrasi ekonomi global dari poros Eropa-Atlantik menjadi
poros Asia-Pasifik yang diikuti oleh perdagangan bebas dunia tahun
2020, akan menjadikan sumberdaya wilayah pesisir dan laut Indonesia sebagai aset pembangunan dengan keunggulan komparatif yang harus dikelola secara optimal.
Pesisir dan laut bagi daerah Bali
dan masyarakatnya mempunyai arti yang sangat penting baik ditinjau dari
aspek ekonomi, lingkungan, sosial budaya maupun adat istiadat dan
keagamaan. Melihat karakteristik dan dinamika dari wilayah pesisir dan
laut, potensi dan permasalahan pembangunan serta kebijakan pemerintah
yang dijalankan agar manfaat wilayah pesisir dan laut tersebut dapat
berlangsung secara optimal
dan berkelanjutan maka perlu adanya upaya-upaya untuk meningkatkan
kinerja manajemen wilayah pesisir dan laut, dimana salah satunya melalui
pendekatan pengelolaan wilayah pesisir dan laut secara terpadu.
Seiring dengan penerapan
otonomi daerah, maka ke depan ini pengelolaan wilayah pesisir dan laut
menghadapi paradigma baru yaitu desentralistik dan terpadu,
menimnggalkan sistem yang lama yang sentralistik dan sektoral. Perbaikan
sistem manajemen tersebut perlu dilengkapi dengan berbagai perangkat
penunjangnya, baik aspek kelembagaan, administrasi maupun peraturan
perundang-undangan yang memadai serta didukung oleh seluruh stakeholders
untuk meraih berbagai peluang-peluang keuntungan sosial ekonomi jangka
panjang dan berkelanjutan antara lain :
Pembangunan bidang ekonomi di Propinsi Bali bertumpu pada sektor pariwisata yang dalam
pengembangannya banyak memanfaatkan potensi sumberdaya alam dan
jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut. Terlebih-lebih dalam pengembangan
pariwisata alam (ecotourism) di masa yang akan datang di Bali, banyak bertumpu kepada jasa-jasa lingkungan pesisir dan laut, seperti wisata bahari.
Wisata bahari
merupakan alternatif pembangunan pariwisata pesisir yang berkelanjutan,
yang melibatkan perpaduan budaya dan lingkungan alam sekitarnya
sehingga memberikan manfaat yang besar kepada masyarakat untuk menyatu
dalam kegiatan tersebut. Permintaan yang cukup tinggi oleh wisatawan manca
negara akan alam yang “terpencil”, “asli”, dan “eksotik”, menjadikan
daerah-daerah pada negara kepulauan seperti Indonesia menjadi incaran
para wisatawan.
Dengan
adanya upaya perbaikan manajemen wilayah pesisir dan laut, maka kondisi
lingkungan pesisir diharapkan dapat ditingkatkan kualitasnya. Dengan demikian pariwisata di Bali dapat berkembang dengan lebih baik sehingga perolehan devisa negara dan kesejahteraan masyarakat dapat lebih ditingkatkan.
Peningkatan kualitas
lingkungan pesisir dan laut yang diharapkan dari adanya perbaikan
manajemen juga akan memberi peluang terhadap pengembangan perikanan
tangkap serta budidaya laut yang mempunyai prospek ekonomi yang baik dan
berorientasi ekspor, serta peluang untuk mengembangkan potensi
keanekeragaman hayati laut untuk menunjang industri farmasi, obat-obatan
dan kosmetik. Dengan demikian masyarakat pesisir mempunyai kesempatan yang lebih besar untuk meningkatkan kesejahteraannya.
Dengan meningkatnya kualitas lingkungan serta adanya perbaikan aspek administrasi/ legislasi, maka dalam jangka panjang wilayah pesisir
dan laut akan berpeluang menarik lebih banyak lagi investasi-investasi
baru, sehingga pertumbuhan ekonomi dan kesempatan usaha serta kesempatan
kerja akan meningkat.
Umat Hindu di Bali diharapkan akan memperoleh peluang untuk dapat melakukan berbagai kegiatan adat dan
keagamaan di pantai dengan lebih baik dan berkesinambungan, dengan
adanya penataan pemanfaatan pantai dan perbaikan fisik pantai yang
diharapkan dari adanya upaya perbaikan manajemen.
7.Strategi Rekayasa Budaya dalam Pengelolaan Pantai
Selama ini, dalam pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah selalu menekankan pada tiga
pendekatan utama, yakni pendekatan teknologi, pendekatan institusi, dan
pendekatan ekonomi dalam program pengelolaan lingkungan hidup. Ketiga
pendekatan ini, telah terbukti masih menyisakan kelemahan-kelemahan yang
mendasar, salah satunya adalah belum diintegrasikannya sistem manajemen lingkungan dengan mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal sehingga masyarakat setempat senantiasa
pada kondisi yang terhegemoni oleh kekuasaan yang direpresentasikan
oleh kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, strategi rekayasa budaya
seyogyanya dilakukan dalam perencanaan program pengelolaan lingkungan
hidup dengan memberikan peluang perbaikan melalui pendekatan budaya .
Pendekatan budaya yang berasal dari penghargaan pada keberagaman ekologis, dengan mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal perlu dijadikan acuan
dalam perencanaan pembangunan. Pendekatan ini dilakukan dengan
memberikan ruang gerak yang sewajarnya pada masyarakat yang memiliki
identitas kultural setempat, untuk mengelola sumber daya yang dimiliki
secara bijak, dan pada saat bersamaan masyarakat dengan identitas
kultural lain diharapkan dapat memahami nilai-nilai dan norma yang
diyakini oleh masyarakat setempat. Dituntut
adanya proses asimilasi dan akulturasi yang mendalam dalam pemaknaan
pesan-pesan lokal yang diberikan. Pada sisi lain, diperlukan penjelasan
tentang manfaat dari mematuhi nilai-nilai kearifan lokal dan tradisi serta simbol-simbol lokal secara rasional sehingga dapat dipahami secara universal.
Pendekatan budaya menekankan pada aspek keseimbangan dalam memahami posisi identitas etnis dari kelompok yang bermukim di suatu kawasan. Walaupun persamaan moral yang mendasari setiap tindakan manusia diyakini
memiliki kesamaan, namun perilaku terhadap alam sangat tergantung pada
orientasi hidup seseorang. Dalam hal semakin bertambahnya beban limbah
dan sampah yang masuk ke lingkungan di Bali
sebagai akibat pertumbuhan populasi penduduk, kesepakatan tentang
ketetapan standar hidup seperti penghormatan terhadap nilai keselarasan dalam Tri Hita Karana harus dipahami sebagai suatu produk budaya setempat.
Implementasi
pendekatan budaya dalam pengelolaan pantai dan kegiatan konservasi (
transplantasi karang ) di Bali yang diharapkan dapat mewujudkan
kelestarian lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan dapat
dilakukan dengan mentrasformasikan nilai-nilai kearifan lokal berbasis
pada konsep orientasi hidup yang mengedepankan keselarasan, dan
keharmonisan untuk mencapai kesejahteraan manusia.
Transformasi mitos-mitos yang diyakini secara tradisi, dituangkan secara lebih rasional menjadi logos.
Sehingga kedalaman maknanya dapat dipahami oleh masyarakat dari
identitas budaya berbeda berdasarkan etnisitas, kepercayaan, dan agama.
Oleh karena itu, tuntutan terhadap kualitas, kuantitas, modalitas dan
kausalitas yang mendasari nilai-nilai kearifan
lokal perlu dimaknai secara universal. Sehingga nilai-nilai yang
terkandung dalam tradisi dipahami secara rasional untuk dilaksanakan
sepenuh hati oleh seluruh masyarakat Bali yang semakin majemuk.
8. Penutup
Penerapan manajemen pengelolaan wilayah pesisir dan laut terpadu telah dilaksanakan
secara konsisten dalam program pembangunan di wilayah pantai Bali.
Walaupun dalam implementasinya ditemukan beberapa kendala, namun dengan
memberikan penekanan pada pendekatan budaya, selain pendekatan
teknologi, pendekatan ekonomi, dan pendekatan kelembagaan, maka tujuan perlindungan sumber daya pesisir dan laut dapat dilakukan dengan baik.
Diperlukan perubahan
paradigma kebijakan pemerintah yang memberikan peluang lebih banyak
kepada masyarakat setempat untuk mengelola potensi sumber daya yang
dimiliki dengan mengacu pada pendekatan keterpaduan program pengelolaan
pantai. Dengan memberikan tanggungjawab yang lebih besar kepada
masyarakat setempat, maka pengelolaan pantai akan lebih sesuai dengan tujuan pembangunan itu sendiri.
Referensi
Baker, I. And P. Kaeoniam (eds.), 1986. Manual of Coastal Development Planning and Management for Thailand. Environmental and Resources Research Division, Thailand Institute of Scientific and Technological Research. Bangkok.
Burbridge, P.R., 1986. Problems and issues of coastal zone management. In Man, Land and Sea. The Agricultural Development Council. Bangkok.
Chua, T.E. 1998. Leasson learned from practicing integrated coastal management in Southeast Asia. Ambio vol. 27 No. 8 : 599-610.
Clark, J.R. 1992. Integrated Management for Coastal Zones. FAO Fisheries Department.
Clark, J.R. 1996. Coastal Zone Management Handbook. Lewis Publishers. Boca Raton, New York, London, Tokyo.
Dahuri, R., J. Rais,
S.P. Ginting and M.J. Sitepu. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita. Jakarta.
Dharma
Putra,K.G., 2003, Partnership and Public Participatory Approach for
Coastal and Marine Environment Management in Bali, Indonesia, The East
Asia Seas Congress, Putrajaya, Malaysia
Sorensen, J.C and S.T. McCreary. 1990. Institusional Arrangements for Managing Coastal Resources and Environments. Revised second edition. National Park Service, U.S. Department of the Interior and U.S. Agency for International Development. Washington .
Sukarno, N. Naamin and M. Hutomo. 1986. The status of coral reef in Indonesia. Proceeding of MAP-COMAR Regional Workshop on Coral Reef Ecosystem : Their Management Practices and Research/Training Needs. Bogor 4-7 March 1986, 14-16.
Sulivan, K., L. de Silva, A.T. White and M. Wijeratne. 1995. Environmental Guidelines for Coastal Tourism Development in Sri Lanka. Coastal Resources Management Project of The University of Rhode Island and the Coast Conservation Department. Sri Lanka.
Penulis: Ketua Kelompok Studi Lingkungan Hidup
FMIPA Universitas Udayana
Jl. Gutiswa No 24 Denpasar.Bali.
Tel. 0361-467712, 7939904 , 08123970922, Fax 0361 467712
E-mail: kgdharmap@telkom.net
Tidak ada komentar:
Posting Komentar